Minggu, 18 Maret 2012

Mitos dan Fakta Seputar Tinggi Badan

1. Orang Asia (termasuk Indonesia) Lebih Pendek Dari Orang Eropa dan Amerika.

Ketimbang orang “bule” umumnya orang Asia lebih pendek karena potensi genetiknya memang seperti itu. Tapi, bukan berarti patokan tinggi badan orang Asia tidak akan berubah. Bangsa Jepang, misalnya, sejak 20-30 tahun setelah Perang Dunia II (1942-1945) sampai sekarang, potensi genetiknya sudah berubah sekali. Target tingginya bisa bertambah sekitar 8-9 cm dari target tinggi potensi genetiknya. Potensi genetik bila ditambah dengan faktor gizi dan lingkungan yang baik seperti yang dialami bangsa Jepang, hasilnya akan positif. Hanya saja, potensi genetik tidak dapat berubah secara tiba-tiba melainkan butuh proses lama. 


2. Panjang Badan Bayi Baru Lahir Menentukan Tinggi Badannya Saat Dewasa.

Panjang lahir tidak menentukan tinggi badan anak kelak. Ada sebuah fase pertumbuhan anak yang dikenal sebagai catch-up and down (kejar tumbuh dan menurun). Bayi dengan panjang lahir 52 cm, saat berusia 2-3 tahun bisa menjadi lebih pendek daripada bayi yang panjang lahirnya 49 cm. Mengapa demikian? Karena pada usia 2-3 tahun masing-masing anak akan mencari sendiri jalur potensi genetiknya. Artinya, bila kedua orang tuanya berperawakan tinggi maka ia pun akan tumbuh ke jalur potensi genetik tersebut. Namun, bukan berarti jika orang tua berperawakan pendek, maka anaknya langsung “masuk” ke jalur potensi pendek. Jangan lupa, disamping faktor genetik ada faktor penunjang lain seperti anak tak sakit-sakitan dan asupan gizi yang baik.  


3. Jika Orang Tua Bertubuh Pendek Maka Anak pun Akan Bertubuh Pendek.

Memang ada istilah familial short stature, artinya perawakan orang tua akan berpengaruh pada perawakan anak. Jadi, prediksi tinggi anak saat dewasa bisa diukur dari tinggi orang tua. Inilah yang disebut dengan target potensi tinggi akhir. Rumusnya, pada anak laki-laki yaitu: (tinggi ibu + 13) + tinggi ayah, lalu hasilnya dibagi dua. Perolehan ini menunjukkan tinggi akhir anak. Angka yang didapat masih bisa bergeser ke bawah atau ke atas dengan kemungkinan plus-minus 8,5 cm. Sedangkan untuk anak perempuan rumusnya: (tinggi ayah – 13) + tinggi ibu, hasilnya juga dibagi dua. Perolehan akhirnya juga disertai kemungkinan plus-minus 8,5 cm. Tugas orang tua adalah mengejar pencapaian tinggi akhir anak tersebut. Tentunya dengan menciptakan lingkungan yang kondusif dan asupan gizi yang mencukupi bagi tumbuh kembang si kecil. Kesimpulannya, memang sangat mungkin perawakan pendek orang tua akan menurun pada anaknya. Namun, tidak mesti demikian karena ada faktor lingkungan yang juga berpengaruh. 


4. Tinggi Badan Akan Mandek Saat Remaja.

Hal ini tergantung pada masing-masing anak. Pertumbuhan tinggi badan anak laki-laki akan berhenti di usia 20 tahun. Sementara pada anak perempuan sampai usia 18 tahun. Namun, usia bukanlah patokan mati karena tinggi badan juga berkaitan dengan fase cepat pertumbuhan yang biasanya terjadi sebelum pubertas. Nah, datangnya masa pubertas bervariasi pada setiap anak. Anak laki-laki umumnya mengalami puber saat usia 9-14 tahun dan anak perempuan antara usia 8-13 tahun. Pada fase pertengahan pubertas ada istilah “pacu tumbuh”. Pada anak perempuan biasanya terjadi sebelum mendapat haid pertama. Jadi, meskipun setelah mendapat haid masih terjadi pertumbuhan, kecepatannya tidaklah sepesat pertumbuhan sebelumnya. Berarti, pada anak perempuan yang lebih dini mendapat haid, ada kemungkinan tinggi badan akhirnya kurang dari target. 


5. Anak Laki-laki Lebih Tinggi Daripada Anak Perempuan.

Secara genetik anak laki-laki memang lebih tinggi ketimbang anak perempuan. Dari rumus penghitungan tinggi akhir pun tampak adanya perbedaan tinggi anak laki-laki dengan perempuan. Lihat rumusnya, perhitungan tinggi anak laki-laki ditambah 13, sedangkan tinggi badan anak perempuan dikurangi 13. 


6. Senam Membuat Anak Jadi pendek.

Suatu penelitian menyingkap, olahraga senam yang dilakukan secara berlebihan (seperti pada atlet senam) akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan anak. Akibatnya, target tinggi akhir anak tidak tercapai alias tubuhnya tetap pendek. Ini terjadi karena latihan senam yang terlampau berat akan menekan poros pusat pengatur hormon pertumbuhan anak. Bila pusat hormonnya terganggu, maka pertumbuhan anak pun ikut terganggu, termasuk pertumbuhan tinggi badannya. 


7. Renang dan Basket Bisa Menambah Tinggi Badan Anak.

Baik renang maupun basket tidak akan dapat menambah tinggi badan anak. Anak akan tetap tumbuh sesuai dengan target tingginya. Kalau memang target tingginya pendek, maka tubuh anak tetap saja pendek. Olahraga hanya berfungsi membugarkan tubuh saja. 


8. Bergelantungan di Tiang Palang Bisa Bikin Tinggi.

Meski otot-otot tampak teregang kala bergelantungan di tiang palang, tetap saja latihan ini tidak akan menambah tinggi anak. Asal tahu saja, proses pertambahan tinggi tak bisa dilakukan dengan cara seperti itu. Proses tinggi badan juga dipengaruhi 3 hormon pertumbuhan, yaitu hormon tiroid, hormon pertumbuhan, dan hormon seks seperti estrogen dan testosteron. Hormon tiroid dan hormon pertumbuhan sudah diproduksi sejak bayi dilahirkan, sementara hormon seks baru mulai dibuat pada masa pubertas. Bila ada gangguan pada salah satu hormon tersebut, maka pertumbuhan tinggi anak pun akan terpengaruh. Untuk mendeteksi adanya gangguan hormon, diperlukan kontrol rutin (sebulan sekali) ke dokter hingga anak berusia 1 tahun untuk mengamati BB, TB, dan lingkar kepalanya. Setelah usia itu, kontrol bisa dilakukan tiap 3 bulan sekali. Perhatikan juga dengan seksama kurva pertumbuhan anak. Dengan begitu, peyimpangan pertumbuhan anak dari alur normal bisa segera dicari penyebabnya dan ditangani. 


9. Pertambahan Tinggi Melesat Saat Pubertas.

Memang, pada fase pertengahan pubertaslah pertambahan tinggi akan melesat. Jika ditelusuri, pertambahan tinggi badan anak sejak lahir sampai usia 1 tahun adalah sekitar 25 cm atau 1,5 kali panjang lahir. Pada usia 2 tahun, pertambahan tinggi yang diperoleh sekitar 12-13 cm. Di atas 3 tahun hingga pubertas, pertambahannya tak banyak, antara 4-7 cm per tahun. Setelah masa pubertas, pertambahan tinggi akan meningkat kembali hingga belasan sentimeter, sebelum kemudian pertumbuhan tinggi badannya akan berhenti. 


10. Anak Laki-laki Akan Bertambah Tinggi Setelah Dikhitan.

Tak ada pengaruhnya sama sekali antara khitan dan tinggi badan. Mengapa sunat diidentikkan dengan pertambahan tinggi badan? Karena umumnya anak laki-laki dikhitan menjelang masa pubertasnya. Saat itu, hormon seks (testosteron) sudah mulai diproduksi oleh tubuhnya. Jadi, bukan karena dikhitan anak jadi bertambah tinggi, tapi memang sudah waktunya ia tumbuh tinggi dengan adanya pengaruh hormon tadi. 


11. Ikut Ortopedi Bisa Tambah Tinggi.

Kiat ortopedi dengan menggunakan alat-alat tertentu tidak akan menambah tinggi badan anak. Jadi tidak ada gunanya, karena proses pertambahan tinggi tidak sesederhana itu. 


12. Pertumbuhan Tulang Berkaitan dengan Tinggi Badan.

Memang ada kaitannya. Bila terjadi gangguan atau kelainan perkembangan tulang pada anak seperti akondroplasia (kelainan bawaan dalam proses pengapuran tulang rawan), rakitis atau lainnya, maka akan terjadi hambatan pertumbuhan sehingga perawakan anak bisa tetap pendek. Adanya gangguan tulang bisa dilihat dari pemantauan secara berkala berdasarkan pengukuran tinggi badan, tinggi duduk, tinggi berdiri, panjang ekstrimitas dan lainnya. 


13. Kurang Kalsium Sebabkan Anak Pendek.

Kekurangan kalsium bisa menyebabkan gangguan pada tulang sehingga anak tidak tumbuh dengan baik dan perawakannya pendek. Hanya saja, faktor ini merupakan parameter yang kecil sekali dibandingkan pengaruh faktor lain, seperti genetik, hormon, gizi sehari-hari, dan lingkungan. Lagi pula, kekurangan kalsium tak akan terjadi bila tak ada gangguan, misalnya menurunnya fungsi ginjal yang menyebabkan proses penyerapan kalsium oleh tubuh jadi terganggu. 


14. Anak Kembar yang Terpisah Dari Ibu Akan Pendek.

Kedengarannya agak aneh, tapi hal ini ternyata benar. Dalam dunia kedokteran ada istilah devrivasi maternal atau memisahkan salah satu anak kembar dari ibunya. Anak yang dipisahkan itu biasanya akan mengalami hambatan proses tumbuh kembang yang mempengaruhi tinggi badannya. Penyebabnya, selain masalah psikologis dalam diri anak, juga tentunya faktor lingkungan dan asupan gizi yang tidak maksimal. Stres dan penyakit kronik mempengaruhi tinggi anak. Stres yang terjadi pada anak bisa menekan pengeluaran hormon pertumbuhan. Akibatnya pertumbuhan anak jadi terganggu. Selain itu, penyakit yang bersifat kronik, seperti asma juga dapat mengganggu pertumbuhan anak. Kala asmanya kambuh, anak tak bisa tidur nyenyak dan kurang beristiharat. Padahal, hormon pertumbuhan akan keluar optimal saat anak memperoleh istirahat cukup. 


SUMBER             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar